Mbah Maridjan seorang abdi dalem Keraton
Yogya. Beliau beristri satu (ya mbah Putri - Ponirah) dan punya 5 orang anak. Berturut
turut adalah mbak Panut si sulung (tinggal di Desa Kaliadem dan punya warung
yang terkenal wedhang gedangnya di Kinahrejo, samping rumah Mbah Maridjan),
Mbak Sulastri (tinggal di Yogya), Mas Asih (tinggal di Kinahrejo), Mbak Sulami
(tinggal di Bekasi, mungkin tetangganya Mas Boim?) dan mas Widodo (tinggal
di Rawa Lumbu - Bekasi). Mbah sudah punya cucu bahkan cicit.
Beliau
seorang cowok (he he he...) berusia 79 tahun, secara pribadi beliau
orang yang ramah, penuh welas asih dan bersahaja. Beliau tak segan
memberikan nasehat gratis kepada siapapun yang membutuhkan, namun saking
tingginya bahasa filosofi beliau jadi agak sulit ditangkap makna dari
nasehatnya. Beliau juga tidak segan segan "memarahi" para pendaki
Merapi yang membandel (kadang ada yang suka 'nakal' dan membahayakan rekan
lainnya), karena jalur pendakian Merapi dari arah Selatan sangat berbahaya
terutama dari batas vegetasi (Kendhit) ke atas (kabarnya sekarang jalur selatan
ditutup karena jalurnya putus oleh erupsi merapi th duaribu reapa gitu
(2004?)).
Beliau tidak pernah menolak jika ada tamu
yang berkunjung ke rumahnya, kapanpun selagi beliau bisa.
Diluar itu semua, beliau orang yang sangat
humoris. Kadang kadang beliau berbicara dengan menggunakan campuran Bahasa
Inggris dan Bahasa Jawa. Ada kejadian yang lucu, saat itu magrib dan Mbah sudah
siap pergi ke mesjid. Aku bertanya mau kemana? Si Mbah menjawab dengan sambil
lalu "arep street street nang masjid" (maksudnya mau jalan jalan ke
masjid).
Keseharian Mbah Maridjan ya seperti seorang
kakek pada umumnya. Di pagi hari setelah bangun tidur dan sholat, ngeriung di
dapur untuk sarapan. Biasanya Mbah Putri sudah menyiapkan seduhan daun teh dan
kue/roti kering untuk sarapan, lalu Mbah Maridjan menuangnya dalam mug
kesayangannya ditambah air panas dan mulailah beliau memotong motong gula jawa
untuk campuran tehnya. Tak lupa sambil menengok nengok kalau kalau sang cucu
(anak Mas Asih, Rosi dan Nurma) yang juga tinggal di Kinahrejo muncul untuk
sarapan bersama.
Setelah sarapan, Mbah Maridjan akan
mengambil sapu dan mulailah beliau menyapu halaman rumahnya. Mbah sering
berkelakar bahwa "aku ki sekolah e nang njpu" (aku sekolahnya di
nyapu-njpu seolah olah nama universitas) dan kerjanya bwsp.... buwang sampah...
Siang
hari kalo lagi ga ada tamu, ya leyeh leyeh, bercengkrama di dapur sama
keluarganya. Menjelang magrib
ya siap siap ke masjid. Malam ya nonton sinetron kalo ga ada tamu. Kalo tamunya
'orang deket' sementara beliau lagi nonton, pasti disuruh nunggu selesai
sinetron.... (bener koq, si Mbah seneng nonton sinetron....)
Selagi beliau masih lebih muda (10-15 tahun
yl), sehari harinya beliau ngarit (mencari rumput) untuk makan sapi piaraannya
di hutan Pethit Opak di atas Desa Kinahrejo atau di atas Bebeng. Sekarang Mbah engga' ngarit lagi karena
sudah tua, jadi kegiatan sehari harinya ya njpu dan bwsp sambil momong cucu....
Sebenarnya beliau juga sedang menikmati hari tuanya sambil terus menjaga tali
silaturahmi dengan Merapi.
Dulu, kalo urusan nyari pendaki ilang di
Merapi alias nge-SAR.... hemmmmmm, jangan pernah sepelein beliau deh.... Kalo
beliau bilang belom harinya ketemu, ya jangan "nyisir" area, karena
percuma yak.... itu bener bener udah terbukti lho...
Aku pribadi sangat mengagumi sosok Mbah
Maridjan, jauh jauh hari sebelum beliau menjadi sorotan media, walau mungkin
Mbah Maridjan sendiri engga begitu mengenal aku.
Sekarang setelah beliau jadi tenar....
(kalo ada yang ngeledekin bahwa beliau sekarang udah jadi bintang tv,
"bintang opo... memedi sawah...?" begitu selalu dijawabnya), aku
makin salut sama beliau, salut akan komitmennya sebagai kuncen.....
Begitulah sedikit cerita tentang si-Mbah
Maridjan tercintah......
Semoga berkenan....Re-post from Multiply posted on 19 may 2006
No comments:
Post a Comment