Pages

Wednesday, March 20, 2013

Masa Kecilku


1966 – 1979, masa kecilku

Namaku Sri Utari. Bapakku seorang polisi yang jujur dan Ibuku seorang mantan perawat. Aku lahir tanggal 25 Desember 1966 sekitar jam 12 siang. Kata Ibu, di Rumah Sakit Bhayangkara Petamburan – Jakarta ga ada dokter waktu aku lahir karena para dokter sedang merayakan Hari Natal… Tapi kelahiranku normal dan tidak menyulitkan Ibuku.

Sejak lahir rambutku keriting, kulitku gelap dan gendut alias bantet. Ibuku bilang aku seperti anak orang Irian… at the end aku bekerja di papua dan tau aku mencintai tanah Papua….

Bapak bekerja sebagai abdi Negara, yaitu polisi dengan pangkat terakhir letnan colonel. Ibu dulu seorang perawat di RS di Surabaya sebelum menikah. Setelah punya anak 1, Bapak meminta Ibu berhenti bekerja.

Aku punya kakak perempuan, namanya Sri Utami yang lahir tanggal 27 Oktober 1961, aku panggil dia mbak Ut. Selisih usia yang 5 tahun, mbak Ut lumayan ngemong, walau suka curang sama aku waktu kecil, apalagi kalo soal coklat. Dulu Ibu suka belikan coklat full cream atau coklat paying di toko ABC dekat lampu merah di pertigaan jalan Budi Kemuliaan (deket RS Budi Kemuliaan) dan jalan Abdul Muis.

Kami tinggal di Jl. Merdeka Barat no. 10 Jakarta Pusat, sebuah kompleks kepolisian dengan 6 keluarga polisi dan sebuah kantor kepolisian (lupa aku itu dulu kantor apa, tapi yang jelas banyak polisinya). Bapakku berkantor di Mabes Polri di Jl. Trunojoyo, bukan dikantor yang dekat dengan rumah.

Rumahku berbatasan dengan jalan Musium dan bertetangga dengan Musium Gajah (Musium Nasional). Jadi ga heran kan kalo aku sejak kecil sudah kenal namanya Musium Gajah, karena Musium itulah tempat bermainku saat kecil bersama kakakku dan anak anak dari Pak Amir (kepala Musium Gajah).
Di seberang jalan raya ada taman Monas. Setelah taman arah timur, Tugu Monas menjulang tinggi dengan megahnya… kebanggaan warga Jakarta…..

Taman Ria Monas dulu ada di sebelah selatan Tugu Monas. Ada banyak mainan anak anak di sana, juga patung patung hewan yang besar dan kami senang menaikinya.

Jakarta Fair tahun 70an digelar di area Monas setiap tahun menjelang ulang tahun Kota Jakarta. Aku sering ikut Tante Ana (anak Oma Sadoek) ke sana, bahkan hampir setiap malam hehehehe…..

Pertokoan Sarinah dan Jalan Sabang, karena paling dekat dengan rumah jadi tempat jalan jalan kami sekeluarga. Kesanalah kami sering dibawa Ibu (kadang sama Bapak juga) untuk jalan jalan alias “hang out”. Aku suka sekali naik mobil mobilan yang akan goyang kalo dimasukkin koin yang beli area itu…. Kaya time zone mungkin kalo jaman sekarang.

Jalan jalan lain adalah ke Kebun Binatang Ragunan atau ke Kebun Raya Bogor. Waktu pertama Kereta Listrik Jakarta Bogor diluncurkan, kami naik kereta sekeluarga khusus untuk nyobain. Naiknya dari stasiun Kota, supaya dapat duduk…. Ancolpun dari dulu menjadi salah satu tempat hiburan, terutama pantai Marina. Kami ke sana naik mobil dinas Bapak Land Cruiser Kanvas yang bensinnya boros banget. Mobil ini juga yang sering bawa kami pulang pergi dari jakarta ke Wlingi alias pulang kampung, tentunya dengan berbekal jerigen bensi dari besi di luar mobilnya.

Kehidupan kami biasa saja secara materi juga cukup cukup aja tuh, kami selalu bersyukur, hemmm… mungkin Bapakkulah yang selalu mengajari cara bersyukur. Bapakku yang seorang polisi yang cukup keras mendidik kami.

Dulu, polisi mendapat jatah beras setiap bulannya, tapi berasnya jelek sekali. Kalo sedang ada rejeki Ibu menukar besar pembagian dari kantor Bapak ke Pasar Tomas di daerah Cideng dengan beras yang lebih bagus (sekarang keknya pasar tomas udah rame jualan velg mobil, ga tau pasar tradisionalnya masih ada apa engga).

Tahun 1972, Ibu mengandung dan aku ingat pada bulan Juni, Ibu mengalami pendarahan (blooding) yang menurut ukuranku saat itu (udah kelas 1 SD atau malah masih TK, ya?) begitu dahsyat. Aku lari ke kantor depan untuk temui Pak Karto (kayanya Pak Karto adalah pegawai sipil di kantor itu dan cukup dekat dengan keluarga kami) dan minta tolong agar Bapak ditelponin untuk dapat segera pulang liat Ibu.

Ibu dibawa ke Rumah Sakit Sumber Waras untuk mendapat pertolongan. Ternyata adik dalam kandungan ibu engga bisa tertolong dan aku tau kami kehilangan adik lelakiku ketika Bapak keluar dari ruang dokter dengan wajah sayu dan kusut….. kami memakamkan adik lelakiku di TPU Karet. Nama adikku Utomo. Dia digendong mas Dar (kakak sepupuku yang markonis, ga tau markonis itu apa ya, mungkin ABK kapal) dari rumah sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir.

13 Maret 1974, lahir adik perempuanku. Namanya Sri Lestari dan dipanggil lily. Maksudnya sih cilik/kecil, karena Ibu dan Bapak mengharapkan dialah anak bungsu mereka.

Dari kecil aku jagoan main sepeda, pake longdress aja aku foto di atas sepeda… walau sepeda roda 3 hehehehe….. Bapakku telaten sekali ajari aku naik sepeda roda dua, sehingga cepet aku bisanya.

Aku selalu minta Ibu untuk merayakan hari ulang tahunku yang selalu jadi hari libur nasional. Aku selalu dibeliin Ibu baju di Proyek (pasar) Senen. Aku senang keitka tiup lilin dan minta sesuatu dalam hati sama Tuhan, berharap apa yang aku mau segera terkabul…. Ternyata Tuhan punya rencanaNya sendiri….

Kenangan semasa kecil yang masih lekat di benakku (karena aku sampai sekarang jadi trauma) adalah ketika aku dikejar ayam jago aduannya bapaknya Harjo (tetangga kami). Aku keluar main sama mbak Ut lewat pintu belakang (dekat pintu belakang itu ada sekelompok pohon pisang), Abis lewat pohon pisang itu tiba tiba si ayam nguber aku, sadar diuber ayam aku lari. Ternyata si ayam makin gila. Karena masih kecil dan pendek aku mudah dijangkau si ayam. Dapatlah aku 3 patoka di wajah mungilku (di bawah mata kiri, di pipi kiri dan di kelopak mata kanan atas). Nangis ku keras karena panik, takut dan sakit.

Ibu langsung lari keluar liat apa yang terjadi dan langsung memeluk aku yang masih kejer nangisnya. Mbak Utami yang ceritain ke Ibu bahwa aku dikejar ayam aduan. Ketika nangisku reda, si ayam dapat rejeki dari Ibuku deh, Ibuku marah luar biasa. Ayam itu ditangkap dan diikat, udah tuh ayam ga berdaya, ibuku juga masih naik pitam. Ditendang tendang deh tuh ayam…. Makanya jadi ayam jangan beraninya hanya dengan anak kecilllll…. Cemen lo yam…

Ibuku emang perkasa. Tapi hatinya lembut sekali, selembut bunga mungil bunga melati tanamannya yang selalu dirawatnya… harum pula… I love you, mom…

1977 – 1979, Seni Tari Tradisional – Tari Jawa

Bapak dan Ibuku senang ketika aku mau ikut les Tari Jawa (mbak Ut lebih suka tari Bali), apalagi waktu aku mulai pentas di panggung di TIM (Taman Ismail Mardjuki). Pentas Tari pertamaku adalah tari Petani, aku jadi pak tani. Pentas kedua, aku nari kupu kupu.

Yang paling seru ketika aku ikut les tari sama Ibu Mashuri (dulu menteri penerangan) di rumahnya di jl Agus Salim dan pentas Tari Bondan di Taman Mini Indonesia Indah…

By the way, tari bondan adalah tari impianku, ternyata terkabul menarikannya di joglo TMII…. Mungkin ini jawab dari “after blowing out the candles and make a wish on my birthday yah heheheh…. Impian selanjutnya adalah tari srimpi, tapi aku keburu lulus SD dan ogah nari lagi dan masuk SMP untuk buka lembaran baru….

1973 – 1979 – SDN Cilamaya

Aku masuk sekolah TK di jalan Abdul Muis (lupa nama TK nya) dan tanggal 2 Januari 1973 adalah hari pertama sekolah SD-ku di SDN Negeri Cilamaya, di daerah Cideng, di sekolah mbak Ut dan dia udah kelas 6 waktu aku masuk sekolah. Waktu kelas 1 dan 2 SD, kalo Ibu ada arisan di kantor Bapak, aku selalu minta ikut dan bolos sekolah. Kalo ga dikasih aku nangis keras keras. Biasanya Bapak antar kami sekolah sebelum ke kantor. Kadang aku naik bis umum juga, bayarnya 15 rupiah… sekarang 15 rupiah dapat apa yaaaa….

Waktu SD aku ikut karate, tapi ya gitu deh anget anget tai ayam, baru berapa kali juga udah bosen.

Ngaji juga pernah ikut di Rumah Pak Amir di sebelah Musium. Tapi aku mutung gara gara aku salah baca trus tanganku dipukul sama Pak Somad (guru ngaji kami) pake penggaris kayu dan aku engga mau ngaji lagi… sampe sekarang aku engga bisa baca Qur’an… nah, pelajaran bagi tenaga pengajar tuh, jangan bikin anak didik trauma kali yaaaa…

Teman dekatku waktu SD namanya Sari Dewanti anak Jaksa tinggal di Jl. Cilamaya no 44 dan Retno Anggraini anak dokter (foto: sama retno dan saudaranya di Geger Kalong, Bandung), tinggal di jalan Citarum (ujung deket belokan). Kalo pulang sekolah aku main sama mereka apalagi kalo Ibu atau Bapak ga bisa jemput sepulang sekolah. Ibu bisa jemput juga aku suka minta dijemput sore hari.

Pertama kali aku nginep rumah temen adalah rumah Sari, malemnya aku ngigo… mau keluar pagar, untung mamanya Sari abis sholat tahajut ngikuti aku… kalo engga mungkin aku udah keluyuran entah kemana tengah malam hehehe….

Kakaknya Sari, kak Boni juga temennya mbak Ut dan mbak Ade dan Mas Budi. Adiknya namanya Tia. Ternyata Sari bersaudara tiri dengan Dewi Yul yang dulu istrinya Ray Sahetapi. Dulu kami suka main ke rumah mereka di Salemba, waktu mereka belum terlalu top getoh….

Permainan “keren”ku yang pertama adalah skate board…. Wowww….. Walau dengan skateboard pinjeman punya mas Budi, aku bisa ber-sakateboard dari rumah Sari sampai taman dekat sekolahku… lumayan loh….

Sari meninggal dunia dalam kecelakaan lalu lintas di Alas Roban Jawa Tengah. Saat kecelakaan Sari sedang menuju Bali bersama suami dan anak perempuannya.

Oh ya waktu SD, temenku lainnya ada Yuli anak Tomang, Ade Miskarana anaknya Mieke Wijaya dan Dicky Zulkarnaen, Ivan Fadillah si cowok kecil ganteng yang rumahnya deket taman di deket rumah Sari (kayanya sekarang istrinya artis).

Kelas 6 kalo ga salah aku mau ikut camping di Bogor sama kelompok pramuka di Mesjid Istiqlal. Tapi kakak pembinanya dodol…. Ga jadi deh kempingnya, padahal udah bawa bekal dan diantar ibu dan bapak ke Istiqlal….. heeemmmmm sebel.

Sakit paling parah semasa SD yang aku alami adalah panas tinggi. Aku lupa kelas berapa. Yang aku ingat aku pulang sekolah diantar teman teman dengan jalan kaki dari sekolah ke rumah. Ada Retno dan Sari yang aku ingat dalam kelompok pengantarku. Dalam sakitku, kata Ibu aku mengigau saking panasnya suhu badanku, mencapai 39.6o celcius.

Kayanya dalam igauanku itu aku ingat bahwa aku mimpi (hampir nyata) aku duduk di kubur dik Tomo. Dik Tomo ditemani mbah kakung (mbah Wiro, ayah dari Bapakku) bawa payung dan ajak aku main ke tempat yang agak jauh, tapi aku dengar Ibuku bilang jangan pergi main sambil nangis. Akhirnya aku berpaling ke Ibuku aja. Ketika aku buka mata aku liat Ibuku ada di sebelahku sambil nangis…. Kan bener, mimpi itu hampir nyata…

No comments:

Post a Comment